Selamat datang di Kelompok Bermain AL-FALAH

PERKEMBANGAN RASA AGAMA PADA ANAK-ANAK

Rabu, 17 April 20130 komentar

Sesunguhnya masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur, paling panjang, dan paling dominan bagi seorang murobbi (pendidik) untuk menanamkan norma-norma yang mapan dan arahan yang bersih kedalam jiwa anak-anak didiknya. Berbagai kesempatan terbuka lebar untuk sang murabbi dan semua potensi tersedia secara berlimpah dalam fase ini dengan adanya fitrah yang bersih, kalbu yang masih belum tercemari, dan jiwa yang belum terkontaminasi.
Rasa agama merupakan salah satu potensi yang telah ada pada masing-masing individu. Rasa agama itu dipupuk dari masa kecil hingga mulai berfungsinya rasa itu pada akhir masa anak-anak menuju masa remaja awal. Perkembangan religiusitas anak mempunyai peran yang sangat penting, baik bagi perkembangan religiusitas pada usia anak itu sendiri maupun usia selanjutnya.
Hal ini dapat terjadi karena pada usia tersebut anak belum dinyatakan mempunyai konsep-konsep dasar yang dapat digunakan untuk menolak ataupun menyetujui segala hal apapun yang masuk pada dirinya.
Tulisan ini merupakan laporan singkat tentang kehidupan saya semasa kanak-kanak, dimana masa itu saya belum mengenal agama, juga berisi tentang bagaimana proses perekembangan rasa agama, faktor yang mempengaruhi, serta pengalaman-pengalaman semasa kanak-kanak terkait rasa agama.
A.       TEORI PERKEMBANGAN RASA AGAMA PADA ANAK-ANAK
Perkembangan rasa agama pada anak-anak memiliki karakteristik tersendiri. Dalam hal ini, Clark memaparkan delapan karakteristik rasa agama pada usia anak-anak. Diantaranya adalah :[1]
1.      Ideas accepted on authority
Semua pengetahuan yang dimiliki anak berasal dari luar dirinya terutama dari orang tua yang mengasuhnya. Dalam hal ini, nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya menjadi hal yang sangat penting karena mempunyai otoritas yang kuat dalam membentuk religiusitas anak.
2.      Unreflective
Anak menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas, maka jarang didapati anak melakukan perenungan atau refleksi terhadap konsep keagamaan yang diterima. Pengetahuan yang masuk pada usia awal dianggap sebagai suatu yang menyenangkan, terutama yang dikemas dalam bentuk cerita.
3.      Egocentric
Pada usia satu tahun, anak mulai terkembang kesadaran tentang keberadaan dirinya. Dalam proses pembentukan rasa  pentingnya keberadaan diri tumbuh egosentrisme, dimana anak melihat lingkungannya dengan berpusat pada kepentingan dirinya. Oleh karena itu, pendidikan agama sebaiknya lebih dikaitkan pada kepentingan anak, misalnya ketaatan ibadah dikaitkan dengan kasih saying Tuhan terhadap dirinya.
4.      Anthropomorphic
Sifat anak yang mengkaitkan keadaan sesuatu yang abstrak dengan manusia. Dalam hal ketuhanan anak mengkaitkan sifat-sifat tuhan dengan manusia. Maka dalam pengenalan sifat-sifat Tuhan kepada anak sebaiknya ditekankan pada perbedaan sifat antara manusia dan Tuhan.
5.      Verbalized and ritualistic
Perilaku keagamaan pada anak, baik yang menyangkut ibadah maupun moral, baru bersifat lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa keinginan untuk memahami maknanya. Anak hanya sekedar meniru dan melakukan apa yang dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Apabila perilaku keagamaan itu dilakukan terus menerus dan penuh minat akan membentuk suatu rutinitas perilaku yang sulit ditinggalkan.
6.      Imitative
Karakter dasar anak adalah menirukan apa yang terserap dari lingkungannya. Demikian juga dalam perilaku keagamaan, anak mampu memiliki perilaku keagamaan karena menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan dari orang-orang terdekatnya terutama orang tuanya. Oleh karena itu, menempatkan anak dalam lingkungan beragama menjadi sangat penting karena menjadi prasyarat terbentuknya religiusitas anak.
7.      Spontaneous in some respect
Berbeda dengan sifat imitative anak dalam melakukan perilaku keagamaan, kadang muncul perhatian secara spontan terhadap masalah keagamaan yang bersifat abstrak. Misal, tentang surga atau neraka. Keadaan tersebut perlu mendapat perhatian dari orang tua, karena dari pernyataan spontan itulah sebenarnya permulaan munculnya tipe primer pengalaman religiusitas yang dapat berkembang.
8.      Wondering
Ketakjuban yang menimbulkan rasa gembira dan heran terhadap dunia baru yang terbuka didepannya. Bagi anak usia antara 3-6 tahun, kejadian sehari-hari yang dianggap biasa oleh orang dewasa dapat menjadi suatu yang menakjubkan, misalnya keramaian lalu lintas, dsb. Pada anak, rasa takjub ini dapat menimbulkan ketertarikan pada cerita-cerita keagamaan yang bersifat fantastis, missal: peristiwa mukjizat Nabi. Peristiwa-peristiwa itu akan berkembang bebas dalam alam fantasi anak yang akan dapat menjadi dasar kekaguman dan kecintaan pada Nabi dan sifat-sifat beliau.


[1] Susilaningsih, makalah perkembangan religiusitas pada usia anak; disampaikan pada diskusi ilmiah Dosen Fak.Tarbiyah IAIN sunan kalijaga Yogyakarta, tanggal … 1994
Berbagi Artikel ini :

Posting Komentar

 
Dukungan : KB AL-FALAH | jidor | Mbuh | Porah | Galeri KB AL FALAH
Copyright © 2011. KB AL-FALAH - All Rights Reserved
Template Created by kb Modify by KB AL-FALAH.Com
Proudly powered by Blogger