Sesunguhnya
masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur, paling panjang, dan paling
dominan bagi seorang murobbi (pendidik) untuk menanamkan norma-norma
yang mapan dan arahan yang bersih kedalam jiwa anak-anak didiknya. Berbagai
kesempatan terbuka lebar untuk sang murabbi dan semua potensi tersedia
secara berlimpah dalam fase ini dengan adanya fitrah yang bersih, kalbu yang
masih belum tercemari, dan jiwa yang belum terkontaminasi.
Rasa
agama merupakan salah satu potensi yang telah ada pada masing-masing individu.
Rasa agama itu dipupuk dari masa kecil hingga mulai berfungsinya rasa itu pada
akhir masa anak-anak menuju masa remaja awal. Perkembangan religiusitas anak
mempunyai peran yang sangat penting, baik bagi perkembangan religiusitas pada
usia anak itu sendiri maupun usia selanjutnya.
Hal
ini dapat terjadi karena pada usia tersebut anak belum dinyatakan mempunyai
konsep-konsep dasar yang dapat digunakan untuk menolak ataupun menyetujui
segala hal apapun yang masuk pada dirinya.
Tulisan ini
merupakan laporan singkat tentang kehidupan saya semasa kanak-kanak, dimana
masa itu saya belum mengenal agama, juga berisi tentang bagaimana proses
perekembangan rasa agama, faktor yang mempengaruhi, serta pengalaman-pengalaman
semasa kanak-kanak terkait rasa agama.
A.
TEORI PERKEMBANGAN RASA AGAMA PADA
ANAK-ANAK
Perkembangan rasa agama pada anak-anak memiliki
karakteristik tersendiri. Dalam hal ini, Clark memaparkan delapan karakteristik
rasa agama pada usia anak-anak. Diantaranya adalah :[1]
1. Ideas
accepted on authority
Semua pengetahuan yang dimiliki anak
berasal dari luar dirinya terutama dari orang tua yang mengasuhnya. Dalam hal
ini, nilai-nilai agama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya menjadi hal
yang sangat penting karena mempunyai otoritas yang kuat dalam membentuk
religiusitas anak.
2. Unreflective
Anak menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas,
maka jarang didapati anak melakukan perenungan atau refleksi terhadap konsep
keagamaan yang diterima. Pengetahuan yang masuk pada usia awal dianggap sebagai
suatu yang menyenangkan, terutama yang dikemas dalam bentuk cerita.
3. Egocentric
Pada usia satu tahun, anak mulai terkembang kesadaran
tentang keberadaan dirinya. Dalam proses pembentukan rasa pentingnya keberadaan diri tumbuh
egosentrisme, dimana anak melihat lingkungannya dengan berpusat pada
kepentingan dirinya. Oleh karena itu, pendidikan agama sebaiknya lebih
dikaitkan pada kepentingan anak, misalnya ketaatan ibadah dikaitkan dengan
kasih saying Tuhan terhadap dirinya.
4. Anthropomorphic
Sifat anak yang mengkaitkan keadaan sesuatu yang
abstrak dengan manusia. Dalam hal ketuhanan anak mengkaitkan sifat-sifat tuhan
dengan manusia. Maka dalam pengenalan sifat-sifat Tuhan kepada anak sebaiknya
ditekankan pada perbedaan sifat antara manusia dan Tuhan.
5. Verbalized
and ritualistic
Perilaku keagamaan pada anak, baik yang menyangkut
ibadah maupun moral, baru bersifat lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa
keinginan untuk memahami maknanya. Anak hanya sekedar meniru dan melakukan apa
yang dilakukan dan diajarkan oleh orang dewasa. Apabila perilaku keagamaan itu
dilakukan terus menerus dan penuh minat akan membentuk suatu rutinitas perilaku
yang sulit ditinggalkan.
6. Imitative
Karakter dasar anak adalah menirukan apa yang terserap
dari lingkungannya. Demikian juga dalam perilaku keagamaan, anak mampu memiliki
perilaku keagamaan karena menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan dari
orang-orang terdekatnya terutama orang tuanya. Oleh karena itu, menempatkan
anak dalam lingkungan beragama menjadi sangat penting karena menjadi prasyarat terbentuknya
religiusitas anak.
7. Spontaneous
in some respect
Berbeda dengan sifat imitative anak dalam melakukan
perilaku keagamaan, kadang muncul perhatian secara spontan terhadap masalah
keagamaan yang bersifat abstrak. Misal, tentang surga atau neraka. Keadaan
tersebut perlu mendapat perhatian dari orang tua, karena dari pernyataan
spontan itulah sebenarnya permulaan munculnya tipe primer pengalaman
religiusitas yang dapat berkembang.
8. Wondering
Ketakjuban yang menimbulkan rasa gembira dan heran terhadap dunia baru yang
terbuka didepannya. Bagi anak usia antara 3-6 tahun, kejadian sehari-hari yang
dianggap biasa oleh orang dewasa dapat menjadi suatu yang menakjubkan, misalnya
keramaian lalu lintas, dsb. Pada anak, rasa takjub ini dapat menimbulkan ketertarikan
pada cerita-cerita keagamaan yang bersifat fantastis, missal: peristiwa
mukjizat Nabi. Peristiwa-peristiwa itu akan berkembang bebas dalam alam fantasi
anak yang akan dapat menjadi dasar kekaguman dan kecintaan pada Nabi dan
sifat-sifat beliau.
[1] Susilaningsih, makalah perkembangan religiusitas pada usia anak; disampaikan pada diskusi ilmiah Dosen Fak.Tarbiyah IAIN sunan kalijaga Yogyakarta, tanggal … 1994
Posting Komentar